Dosen Pengampu : Fince Tinus Waruwu, M.Kom
Pada abad ke 19 ketika penduduk dunia masih kurang dari 3 milyar jiwa, Robert Malthus mendalilkan bahwa kelak manusia akan dihadapkan pada kelangkangan pangan sebagai akibat dari perkembangan penduduk yang tak terkendali. Kini, pada tahun dimana penduduk dunia telah mencapai 7 milyar jiwa, prediksi itu sepertinya akan menjadi kenyataan. Revolusi hijau terbukti masih tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan dunia dan dunia dihantui dengan krisis pangan. Hal ini mendorong perkembangan teknologi baru yang sayangnya tidak selalu bisa diterima oleh masyarakat, terutama masyarakat yang konservatif seperti di Indonesia. Jadi bagaimana kita harus menyikapinya?
Beberapa tahun lalu, isu kedelai Genetically Modified Organisms (GMO) dari AS masuk ke Indonesia menimbulkan debat kusir di media local. Pada waktu yang hampir bersamaan pemerintah salah satu negara di Afrika menolak bantuan pangan kedelai GMO dari PBB. Pertentangan serupa pun tidak cuma terjadi di negara berkembang, bahkan di Eropa Barat yang maju pun konsumen masih banyak mempertentangkan apakah makanan seperti GMO, produk cloning, atauproduk iradiasi pantas untuk dikonsumsi. Rollin, dkk (2011) mengadakan penelitian untuk menguji penerimaan konsumen (consumer acceptance) di Eropa terhadap teknologi-teknologi makanan inkonvensional yang mencakup nanomaterial, GMO, nutrigenomics, cloning, dan iradiasi. Hasilnya menunjukan bahwa walaupun hampir seluruh responden mengakui bahwa teknologi-teknologi seperti itu sanggup untuk memecahkan masalah pangan dunia, namun banyak dari konsumen tidak ingin menggunakan produk-produk tersebut jika diberikan pilihan yang lebih “organic”.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Rollin ini, ada beberapa parameter dan variable yang ditinjau, mencakup jenis kelamin, umur, kemampuan ekonomi, serta tingkat pendidikan koresponden. Hasil yang didapat oleh Rollin ini menunjukan bahwa masalah moral dan etika masih menjadi factor utama dalam penolakan terhadap beberapa teknologi yang dianggap “menentang Tuhan”, yaitu GMO dan cloning yang dipersepsikan sebagai perusak hakekat makhluk hidup. Selain itu kekhawatiran akan gangguan kesehatan membuat banyak konsumen meragukan teknologi-teknologi baru yang dianggap “belum teruji dan belum terbukti”, yaitu nanomaterial, nutrigenomics, dan iradiasi yang dipersepsikan masih sangat baru. Satu-satunya factor yang membuat konsumen mau menggunakan produk-produk tersebut adalah harga yang lebih murah dibandingkan produk-produk konvensional.
Hasil penelitian ini menjadi suatu bahasan yang menarik bagi kita yang ada di Indonesia karena sampai saat ini belum terlihat adanya kesadaran akan hal yang serupa bagi kita disini. Biar bagaimanapun, teknologi makanan yang baru kontroversial dari negara lain akan masuk ke Indonesia sebagai akibat dari pasar bebas, diversifikasi pangan, maupun gaya hidup. Pro dan kontra kemungkinan besar akan terjadi di Indonesia mengenai teknologi baru ini. Seperti halnya di Eropa, kondisi sosial penduduk Indonesia yang dikenal agamis dan sangat menjunjung budaya ketimuran akan menjadikan moral dan etika sebagai alasan utama penolakan teknologi baru ini. Di sisi yang sangat bertolak belakang harga teknologi baru yang lebih murah membuat makanan menjadi lebih terjangkau bagi masyarakat. Jadi akan ada pihak yang menolak keras teknologi baru (yang kemungkinan besar akan diawali oleh GMO) dan akan ada pihak yang mau menggunakan teknologi baru ini, jadi bagaimana kita di Indonesia harus menyikapinya?
Menurut penulis, kunci bagi kita yang ada di Indonesia adalah informasi yang jelas dan terbuka mengenai produk-produk dengan teknologi baru ini. Produsen perlu memberitahukan dengan jelas apakah produk yang diproduksinya mengandung teknologi-teknologi yang masih diperdebatkan. Sehingga konsumen memiliki kebebasan penuh untuk memilih apakah akan menkonsumsi produk tersebut atau tidak. Hal ini pada akhirnya mendorong suatu isu baru yang disebut kewajiban labeling yang sampai detik ini masih menjadi perdebatan di AS antara konsumen dengan produsen. Dengan diwajibkannya produsen untuk menginformasikan penggunaan teknologi yang diperdebatkan dalam kemasannya, berarti Indonesia telah lebih terbuka dan maju daripada AS.
Dengan informasi yang jelas di pihak konsumen mengenai penggunaan teknologi-teknologi ini. Konsumen memiliki kebebasan penuh di tangannya untuk menentukan pilihan apakah akan mengkonsumsi produk tersebut atau tidak.Di pasaran, prinsip supply and demand akan sangat berperan. Bagi pihak yang mampu dan menolak, pasti akan terdapat pilihan untuk menggunakan produk konvensional yang lebih mahal. Sedangkan bagi pihak yang kurang mampu, teknologi inkonvensional yang lebih murah akan menjadi solusi yang baik dan murah untuk menyediakan pangan.
Sebagai penutup, penulis menyimpulkan bahwa informasi dan pengetahuan yang lebih jelas dan terbuka mengenai teknologi–teknologi inkonvensional ini akan menjadi kunci untuk menghindari pertentangan dan debat kusir dan membuat masyarakat memiliki pilihan yang lebih banyak dan bebas mengenai makanan apa yang akan dikonsumsi olehnya.
Sumber : https://www.kompasiana.com/el_ibonko/perkembangan-teknologi-dalam-industri-makanan-dan-bagaimana-kita-menyikapinya_550acb6da3331169102e3a52
Tidak ada komentar:
Posting Komentar